Cerita Pendek (Cerpen)


VS Rio (Part 1)

            Rio baru saja menyelesaikan maha karyanya yang akan ia persembahkan kepada sosok yang dicintainya. Dinding panjat yang point-pointnya disusun dengan arah vertikal membentuk tulisan I LOVE YOU, siapapun yang melihatnya pasti akan merasa kagum dan terharu.
            Rio senyum-senyum sendiri membayangkan reaksi orang yang dicintainya melihat persembahannya. “30% lagi beres, bismillah!! Semangat!!”, gumamnya.
            “Hei, Rio!!” teriakan Ve membuat Rio terkejut setengah mati. Ia mengejutkan Rio sambil memegang pundaknya dari belakang.
            “Ah!!” sahut Rio terkejut. Ia benar-benar dibuat terkejut oleh Ve. Ve hanya senyum-senyum dan tertawa kecil, senang berhasil mengejutkan temannya itu.
            “Cie.. Keren banget tuh maha karyanya!! Buat siapa sih? Buat aku yah?? Makasih banyak, nggak usah repot-repot. Hehehe..”, canda Ve pada Rio mencoba mencairkan suasana.
            Rio tampak agak sewot sendiri, nampaknya ia merasa tidak nyaman dengan kedatangan Ve yang secara tiba-tiba itu.
            “Kamu, Ve! Ngapain dateng kesini? Pake ngagetin aku segala lagi!! Lagian aku buat ini juga bukan untuk kamu!! Ga usah ke-GR-an deh kalo jadi cewek!!, ” bentak Rio kesal. Mendengar nada yang cukup tinggi dari Rio, senyum Ve memudar.
            “Biasa aja kali, nggak usah sewot! Lagian aku juga cuma bercanda!” sahut Ve tak mau kalah. Kemudian ia mengeluarkan jaket dari dalam tasnya. Ia menghela nafas, mencoba menenangkan diri.
            “Tenang aja, aku nggak akan lama-lama kok disini! Cuma ada beberapa hal yang mau aku sampein sama kamu!” kata Ve.
            “Bagus kalo gitu! Ada apa?” sahut Rio masih agak tinggi.
            “Satu, ini jaket kamu! Makasih udah minjemin. Dan yang kedua, aku cuma mau bilang..” Ve ragu.
            “Mau bilang apa? Cepetan, ngomong aja susah!” bentak Rio.
            “Aku.. aku cuma mau bilang mulai hari ini aku bakalan berhenti dulu manjat untuk beberapa waktu,” nadanya agak sedih.
            Rio agak heran dan terkejut, namun ia masih belum bisa mengalahkan egonya.
            “Oh, gitu. Ya sudah, sana pulang!” kata Rio.
            Ve sedih melihat sikap Rio yang begitu acuh padanya. Ketika hendak pergi, ia kembali menghampiri Rio karena melupakan sesuatu. Ia mengeluarkan sebotol minuman isotonik dari dalam tasnya dan memberikannya pada Rio.
            “Nih, aku lupa mau ngasihin ini. Khawatir kamu haus dan kurang minum selama latihan!” kata Ve, kemudian ia pergi.
            Rio hanya terdiam. Ve meraih tangannya dan memberikan minuman itu dengan sedikit paksaan, lalu pergi begitu saja. Rio masih menatapnya, namun tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Sejuta pertanyaan memenuhi benaknya.
            Tiba-tiba saja muncul Musa yang langsung melontarkan Rio dengan pertanyaannya.
            “Rio, kok kamu biarin Ve pergi sih?” tanya Musa dengan nada agak tinggi. Rio masih membisu, menatap Ve yang telah berlalu seolah merasa bersalah.
            “Rio! Emang kamu nggak akan kangen apa setahun nggak akan ketemu sama Ve?” bentak Musa. Rio tersadar dari lamunannya, ia terkejut mendengar perkataan Musa.
            “Maksud kamu apa, nggak ketemu Ve setahun?” tanya Rio heran.
            “Jadi, kamu nggak tahu?” tanya Musa balik heran.
            “Tahu apa?” tanya Rio semakin bingung.
            Musa menghela nafas.
“Aku kira, Ve udah cerita sama kamu. Dia kan mau berangkat ke Belanda, dia dapet beasiswa buat sekolah disana selama setahun,” jelas Musa pelan.
“Apa? Kok Ve nggak pernah cerita sama aku sih?” kata Rio sewot.
“Ya mana aku tahu! Malah aku lebih heran, bukannya Ve lebih deket sama kamu daripada sama aku?” kata Musa balik membela diri.
Keduanya terdiam.
“Tunggu apa lagi? Malem ini Ve take off. Bentar lagi dia mau berangkat ke bandara. Masa kamu masih mau diem aja?” kata Musa sewot.
Tiba-tiba saja Rio pergi meninggalkan Musa. Wajahnya muram, dan tampak begitu bingung. Rio duduk diatas tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke arah laci meja di dekatnya. Diraihnya pegangan laci tersebut, dan dibukanya secara perlahan.
“Ve, maafin aku! Aku bener-bener salah sama kamu!” gumam Rio sambil memegang sebuah album ditangannya.
“Andai kamu tahu, Ve. Karya itu buat kamu!” sesalnya.

Komentar

  1. kakak nulisnya dilanjut dong.. :D
    soalnya ceritanya bagus.. tetap semangat nulis...

    dan salam kenal.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih banyak, alhamdulillah
      lanjutannya masih belum beres, hehe.

      salam kenal juga, tunggu lanjutannya yah!! :D

      Hapus
  2. Kakak, mana sambungannya? kok dr Agustus ampe skr Januari blm kelar jg.... :p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: Arunika

Puisi: Petrikor

Sejarah: Tentang Keluarga dan DI/TII