Cerita Pendek (Cerpen)

Seribu Langkah untuk Cita-Citaku
                                                                  

        Aku hanya bisa termenung melihat temanku terbaring lemah di ruang UKS. Tubuhnya begitu lemah dengan pandangannya yang kosong. Aku takut, khawatir, sedih dengan apa yang telah menimpanya. Aku takut, hal yang buruk terjadi pada ingatannya. Tapi kuyakinkan diriku bahwa Mira, teman yang duduk sebangku denganku itu, baik-baik saja. “Mungkin dia masih syok dengan kecelakaan itu,” gumamku. Hampir satu jam pelajaran kugunakan untuk menemaninya di ruang UKS sebelum akhirnya aku kembali ke dalam kelas.
           Kekhawatiranku berkurang ketika melihat Mira tertidur lelap. Setidaknya, tatapan yang penuh dengan ketakutan itu agak berkurang. Saat itulah aku mulai tenang untuk meninggalkannya.
             Aku kembali ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya. Kulihat bangku di sampingku yang kosong. Disana hanya terdapat tas Mira dan barang-barang dagangannya. Aku pun mengalihkan pandanganku.
*****
            Bel istirahat berbunyi. Aku kembali melihat kondisi Mira, dan ia masih tertidur lelap. “Semoga ia baik-baik saja,” kataku pada teman yang mengantarku.
                “Emangnya Mira kenapa gitu, Bel?” tanya Hany.
            “Katanya, dia jatuh dari sepeda motor dan kepalanya terbentur. Tapi, aku   masih belum dapet informasi yang jelas. Kakaknya Mira nggak bisa        dihubungi. Mira juga masih belum bisa ditanya tentang kecelakaan itu,” jawabku.
            “Ya mudah-mudahan aja, Mira nggak kenapa-kenapa yah!” kata Hany.
            “Amiin..” balasku.
            Kami berdua berjalan menuju kantin. Seperti biasanya, aku dipanggil oleh Pembina OSIS yang kebetulan melihatku lewat di depan ruang guru. Aku pun menghampirinya. 
            “Ada apa, Pak?” tanyaku selesai salam pada Pak Burhan. 
     “Begini, Bel. Ini ada undangan dari SMA Negeri 1 untuk menghadiri acara Seminar Kewirausahaan,” kata Pak Burhan sembari memberikan surat undangannya padaku. Aku pun membaca surat undangan itu.
            “Besok ya, Pak?” tanyaku meyakinkan.
            “Ya. Nanti kamu ajak seorang lagi saja untuk menemani kamu. Nanti biar Bapak yang urus surat dispensasinya, yah!” kata Pak Burhan tersenyum.
            “Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak,” salamku lalu pergi.
*****
            Di kelas.
            “Bel, Si Mira kondisinya gimana? Masih di UKS?” tanya salah satu teman sekelasku.
           “Ya, dia masih istirahat disana,” jawabku singkat. Aku kembali melihat barang-barang Mira yang ada di mejaku. Dengan sejuta prasangka, pikiranku kembali kepadanya. Aku pun memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk Mira.
*****
            “Hey, silahkan ada yang mau beli?? Ada gehu pedas sama sosis gulung.. Silahkan dipilih-dipilih!!” kataku mempromosikan dagangannya Mira. Aku tak percaya, ternyata aku bisa menghilangkan rasa gengsiku. Padahal sejujurnya aku sangat malu jika harus berjualan, apalagi di hadapan teman-temanku. Tapi, rasa maluku masih kalah dengan rasa simpatiku pada Mira. Ya, mana mungkin aku membiarkan Mira kembali ke rumah dengan membawa barang dagangan yang tak satupun terjual. Atau pulang dengan tidak membawa sepeserpun uang dari hasil penjualan. Aku terlalu jahat untuk itu, maka dari itulah kuputuskan untuk membantunya dengan menjual barang dagangannya.
            Mungkin Mira memang selalu berkeliling kelas ketika berjualan pada jam istirahat. Tidak sepertiku yang hanya diam di dalam kelas, menunggu pelanggan yang menghampiri. Itu karena waktu istirahat yang memang sudah hampir berakhir. Namun ternyata, hal tersebut tidak mempengaruhi larisnya dagangan Mira yang memang sudah memiliki banyak pelanggan tetap. Meskipun tidak sampai habis terjual, tapi aku bisa menjual setidaknya lebih dari setengah dagangan Mira.
            Usai berjualan, aku kembali menemui Mira di UKS. Kini ia telah bangun dari tidurnya. Dengan semangat, aku menghampirinya.
            “Mir, udah bangun? Ini, hasil dagangan kamu. Maaf Cuma sedikit,” kataku, Mira hanya tersenyum. Wajahnya masih pucat.
            “Terima kasih banyak, Bel. Maaf jadi ngerepotin kamu,” balasnya.
            “Nggak apa-apa kok, Mir. Itu udah kewajiban aku buat bantuin kamu,” kataku. Aku pun kembali ke dalam kelas.
            Satu kebaikanku di hari itu, “Hilangkan rasa malu jika itu untuk kebaikan”.
*****
            Esok paginya aku sudah bersiap untuk bergegas ke SMA Negeri 1. Aku yang awalnya ingin didampingi oleh Mira terpaksa memilih Ryan untuk menggantikannya. Ryan yang memang sekretarisku di OSIS, bersamanya aku pun pergi ke SMA Negeri 1 untuk menghadiri kegiatan Seminar Kewirausahaan.
            Mira, aku masih ingat ketika kenaikan kelas semester lalu. Hampir saja ia tak melanjutkan sekolahnya karena masalah biaya. Memang biaya di sekolahku yang cukup mahal itulah yang menjadi alasan utamanya untuk tidak melanjutkan studinya. Akan tetapi, setelah diusahakan dan tentunya dengan dorongan semangat dari teman-temanku juga, akhirnya Mira mendapatkan beasiswa bagi siswa kurang mampu yang diberikan oleh pihak sekolah. Alhasil, ia bisa melanjutkan sekolahnya tanpa harus mengeluarkan biaya selama setahun penuh.
            Mira telah banyak memberiku inspirasi. Dan kejadian kemarin telah membuatku termenung dan mendapatkan beberapa ide cemerlang. Namun pelajaran utama yang kudapatkan di hari kemarin adalah “Jangan malu untuk memulai suatu kebaikan”. Sepanjang perjalanan menuju SMA Negeri 1 yang letaknya memang cukup jauh dari sekolahku, kugunakan untuk terus menggali ide-ide yang muncul di dalam pikiranku.
*****
            “Melalui wirausaha, seseorang akan belajar banyak hal,” kata Sang Pemateri. Aku pun merasa tertarik untuk mendengar kalimat-kalimat yang kan ia ucapkan selanjutnya.
            “Hal yang paling utama adalah, kita belajar untuk menghilangkan rasa malu...” katanya panjang lebar sambil menjelaskan gambaran tentang poin pertama itu. Tersirat dalam otakku mengenai apa yang ku alami di sekolah kemarin. Aku semakin tertarik untuk mendengar poin selanjutnya.
            “Hal yang kedua yang mungkin sering anda rasakan adalah menghilangkan rasa takut. Keberanian Anda muncul ketika....” lanjut Sang Pemateri. Aku begitu serius mendengarkan setiap perkataan yang diucapkan olehnya.
            “Jadi, jangan pernah Anda takut untuk memulai usaha Anda, sekecil apapun itu,” kata Sang Pemateri menutup presentasinya. Semua orang memberikan tepuk tangan yang begitu meriah usai ia mengucapkan salam.
            Hari itu adalah hari yang luar biasa untukku. Setidaknya melalui seminar itulah aku mendapatkan banyak pelajaran baru yang mungkin tidak aku dapatkan dari pendidikan formal biasa.
            Pelajaran penting kedua yaitu, “Jangan pernah takut untuk memulai suatu kebaikan.”
            Sesampainya di rumah, aku segera membuka agenda harianku. Di halaman khusus yang terletak di paling depan agenda tersebut, kutuliskan lima rencana terdekatku yang harus kucapai.
            Inilah lima cita-citaku sebelum aku keluar dari SMA :
1.      Membuat usaha mandiri untuk pemasukan pribadi
2.      Mengembangkan usaha tersebut untuk memberi lapangan pekerjaan bagi yang lain
3.      Membentuk seksi bidang kewirausahaan
4.      Membuat usaha untuk pemasukan kas OSIS
5.      Kuliah tanpa biaya orangtua
*****
            Awalnya aku berniat untuk memulai bisnis dengan berjualan pulsa elektrik. Akan tetapi keinginanku itu berubah ketika aku bertemu dengan seseorang tanpa sengaja.
            Ka Ilham, aku mengenalnya lewat jejaring sosial. Awalnya hanya teman biasa. Namun, obrolan kami terus berlanjut hingga akhirnya aku tertarik untuk bekerja sama dengan Ka Ilham membantu menjual produknya.
            “Kaka jual ke kamu Rp. 700/buah, dan kamu bebas mau menjualnya berapa,”  katanya.
            “Baiklah, Ka. Mulai besok aku ambil dulu 50 ya, Ka. Ya, buat sample juga,” kataku.
            “Kalau begitu, besok biar Kaka kirim makanannya ke sekolah kamu, ok!” katanya.
            “Ok, Ka,” balasku mengakhiri pembicaraan.
*****
            Awalnya aku ragu untuk membawa barang daganganku. Ditambah lagi, aku tak enak dengan Mira yang sudah lebih dulu berjualan. Namun, aku berjualan tanpa mengambil pelanggan tetap Mira. Aku berjualan makanan ini kepada adik-adik kelasku.
            Langkah ini rasanya berat. Malu, takut, gengsi dan perasaan-perasaan lain bercampur aduk jadi satu dalam hatiku. Hingga akhirnya aku meyakinkan diriku.
            “Ayo...ayo.. adik-adik, silahkan dibeli. Kekar....kekar....” kataku promosi. Walaupun masih agak canggung, namun aku tetap melanjutkannya.
            Beberapa orang adik kelas menghampiriku.
            “Wah, Ka Bela jualan? Jualan apa, Ka?” tanya salah satu dari mereka.
            “Iya, Dik. Ini nih, kekar alias keju karamel. Coba, deh! Ini makanan baru    loh! Rasanya juga enak, sehat lagi,” jawabku.
            “Waw, jempol deh buat Ka Bela. Ketua OSIS yang nggak gengsi buat berjualan,” puji salah satu adik kelasku yang lain.
            “Alhamdulillah.. Ini juga kan buat ngasih motivasi juga untuk kalian, supaya kita nggak boleh malu buat melakukan kebaikan,” balasku.
            “Berapaan harganya, Ka?” tanya mereka.
            “Seribu aja kok satu buahnya,” jawabku.
            “Kalo gitu aku beli dua ya, Ka,” kata salah satu dari mereka.
            “Aku juga,”
            “Aku beli tiga, Ka...”
            Dan di hari  pertama aku berdagang, daganganku laris terjual. Awal yang baik untuk usaha pertamaku.
*****
                Bisnisku berjalan lancar. Tak hanya di sekolah, pemesanan via online pun aku lakukan.
               Perkembangan bisnisku yang baik inilah yang membuatku berpikir untuk memperkerjakan orang lain dan berbagi hasil dengannya. Akhirnya, aku memutuskan untuk memperkerjakan beberapa orang rekanku di OSIS yang memang membutuhkan pemasukan lebih untuk uang saku mereka. Mereka adalah rekan-rekanku yang juga termasuk dalam seksi bidang kewirausahaan. Alhasil, keuntungan penjualan kekar itu pun dibagi tiga. Rp 100 / buah untukku, Rp 100 / buah untuk kas OSIS, dan sisanya Rp 100 / buah untuk rekan-rekanku yang membantu menjual makanan itu.
            Tanpa kusadari, ternyata empat dari lima cita-citaku telah terpenuhi dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. Tapi usahaku tak sampai disitu saja. Aku dan rekan-rekanku di OSIS sepakat untuk mencari dana sendiri untuk melaksanakan kegiatan agar tidak memberatkan pihak sekolah. Kami pun mulai mencari cara untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan jalan yang baik tentunya.
            Usaha kami yang awalnya hanya sebatas berjualan kekar, kini merambah menuju Koperasi OSIS dan berjualan pulsa. Jadi, siswa tidak perlu bingung lagi jika harus membeli pulsa, karena OSIS telah menyediakan pelayanannya.
*****
            Ternyata kesuksesanku mengaktifkan kewirasusahaan OSIS berbanding terbalik dengan kenyataan yang harus ku terima. Pada saat pergantian semester, Mira benar-benar tak pernah muncul lagi ke sekolah selama kurun waktu yang cukup lama. Hal itu membuatku begitu khawatir. Menghubungi Mira adalah rutinitas yang sudah tak terhitung lagi seberapa seringnya. Namun, tak sekalipun aku berhasil terhubung dengannya. Aku mulai pesimis. “Mira, kamu kemana?” gumamku.
            Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Mira. Ditemani dengan temanku, Hany, aku pergi menuju rumah Mira.
            Tok...tok...tok...
            “Assalamu’alaikum..”salamku.
            Berkali-kali kami mengetuk pintu dan mengucapkan salam namun tak ada satu pun yang menjawab. Rumah Mira memang terlihat kosong. Dan sepertinya, rumah ini memang sudah tidak dihuni untuk waktu yang cukup lama. Hatiku tersentak. Seketika itu pula muncul pertanyaan dalam benakku, “Apakah Mira dan keluarganya telah pindah rumah? Kenapa Mira tidak memberi tahuku tentang hal ini? Atau jangan-jangan telah terjadi sesuatu terhadap Mira dan keluarganya sedangkan aku tidak tahu?”
*****
            Bertahun-tahun berlalu setelah kejadian itu. Aku masih ingat, sepulang dari rumah Mira aku langsung menangis sejadi-jadinya. Semua perasaan bercampur aduk dalam benakku. Sungguh, rasanya begitu sakit jika harus kehilangan orang yang kusayangi. Tak hanya orang yang kusayang, namun juga sosok yang menjadi inspirasiku. Kehilangan Mira, kehilangan seorang sahabat tanpa sedikit pun kabar yang kudapatkan. Rasa marah karena ketidakterbukaannya padaku, masih kalah dengan rasa rindu dan kekhawatiranku padanya.
            Kini, aku telah menggapai semua cita-citaku, terutama yang kutuliskan di halaman depan agendaku. Aku telah menyelesaikan studi S-2 ku di Australia. Dan aku pun kuliah tanpa biaya orangtua sejak awal mengambil S-1. Namun ternyata, apa yang telah kudapatkan ini tak semata-mata dapat membuatku merasa bahagia. Ku kira dengan mewujudkan semua cita-citaku itu akan membuatku bahagia. Ataukah mungkin cita-citaku yang sesungguhnya masih belum terwujud? Entah, namun itulah yang kurasakan. Sesuatu yang hilang, bagian dari dalam diriku.
*****
            Hari ini adalah pertama kalinya kami, para pengurus OSIS SMA Angkasa periode masa pemerintahanku berkumpul kembali. Tepatnya di aula sekolah, tempat yang penuh dengan kenangan, disanalah kami berkumpul bersama-sama. Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Ada rekanku yang telah memiliki seorang anak, ada yang baru dan akan menikah, dan ada pula yang masih menyelesaikan studinya. Waktu 6 tahun memanglah waktu yang cukup lama yang seiring dengan pergantiannya menimbulkan banyak perubahan. Reuni kali ini menjadi sebuah pertemuan yang amat berarti. Saling bertukar cerita dan bertukar cara untuk menggapai kesuksesan adalah kegiatan yang kami lakukan. Tak sedikit dari kami yang telah mencapai kesuksesan. Dan dengan melihat keadaan itulah ide baru kembali muncul di dalam pikiranku.
            Aku kembali mempimpin forum dan memulai pembicaraan dengan rekan-rekanku itu. Kukeluarkan wacana yang ada dalam pikiranku.
            “Rekan-rekanku sekalian, bagaimana jika kita membuat sebuah program baru dan menjalankannya? Bukankah dahulu kita sering melakukan ini? Apakah kalian tidak rindu dengan suasana seperti dulu?” kataku memulai pembicaraan.
            Semuanya mendengarkan dengan seksama. Mereka semua memang merindukan suasana dahulu, suasana disaat sedang membuat, mempersiapkan, dan menjalankan sebuah kegiatan.
            Aku menyampaikan apa yang ada di dalam pikiranku. Mereka pun memberikan pendapat mereka guna menyempurnakan ide tersebut. Konsep pun mulai terbentuk dan kesepakatan telah tercapai diantara kami.
            “Kalau begitu, mari kita mulai jalankan program ini dan merealisasikannya sesegera mungkin....” kataku.
*****
            Aku menghentikan laju mobil yang ku kendarai ketika melihat sosok wanita yang mirip sekali dengan Mira yang sedang berjualan makanan di pinggir jalan. Penasaran, aku pun memutuskan untuk menghampiri wanita tersebut.
            Perlahan aku menghampiri wanita yang sangat mirip dengan Mira itu. Langkah demi langkah dan aku semakin dekat dengannya.
            “ Mira?” tanyaku. Wanita itu terkejut dan berbalik ke arahku, menatapku tajam.
            Benarkah ini Mira? Mira, teman lamaku? Sahabatku yang hilang entah kemana tanpa kabar yang jelas? Aku masih berusaha untuk meyakinkan diriku.
            Beberapa saat kami terdiam. Dan seketika itu pula aku yakin bahwa wanita itu bukanlah Mira. Ya, karena Mira pasti ingat padaku. Aku pun meminta maaf pada wanita tersebut.
            “Oh, ya. Mohon maaf, mungkin saya salah orang. Sekali lagi saya mohon    maaf, saya kira Anda teman lama saya yang bernama Mira. Karena, wajah            Anda begitu mirip dengannya,” kataku meminta maaf. Wanita itu masih menatapku tajam, tak sepatah kata pun terucap darinya. Aku pun pamit hendak pergi untuk melanjutkan perjalananku.
            Tiba-tiba saja wanita yang sangat mirip dengan Mira itu menahanku. Aku pun kembali menatapnya heran. Kulihat dirinya seolah hendak mengatakan sesuatu.
            “Mmmm.... A,” katanya.
            Astagfirullah, aku terkejut bukan main. Ternyata wanita itu tidak bisa berbicara. Pantas saja sedari tadi ia hanya terdiam. Ia menggunakan bahasa isyarat, seolah ingin mengatakan sesuatu. Awalnya aku tak mengerti, namun setelah kulihat dan amati secara seksama apa yang dimaksud oleh wanita itu aku pun mengerti. Ya, aku pun tersadar dan kembali terkejut.
            “Mira.... Dia benar-benar Mira,” gumamku. Aku masih setengah tak percaya dengan kenyataan yang begitu mengejutkanku.
*****
            Akhirnya aku bisa kembali bertemu dengan sahabat lamaku. Sahabat yang telah lama hilang, kini ia telah kembali. Aku bahagia sekaligus sedih melihat keadaannya. Dan kini aku telah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku selama ini.
            Mira berhenti sekolah karena musibah besar menimpanya. Kondisinya yang memang sangat labil terutama setelah kecelakaan dahulu ternyata dimanfaatkan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Kejadian naas itu terjadi ketika Mira pulang dari sekolah. Mira yang membawa uang hasil dagangannya itu dirampok. Tak hanya itu, ia juga nyaris dibunuh. Namun Mira berhasil menyelamatkan diri. Dan kondisi inilah yang membuatnya trauma hingga akhirnya menyebabkan ia tak bisa berbicara. Maklum, karena saat itu Mira dicekik, dipaksa untuk meminum racun yang menyebabkan pita suaranya  rusak. Akhirnya keluarga Mira memutuskan untuk pindah ke luar kota. Inilah alasan mengapa Mira tak bisa memberikan kabar padaku. Dan mengapa keluarganya tak juga memberi kabar, ialah karena mereka tidak ingin orang lain tahu mengenai kondisi Mira yang saat itu sangat terpuruk.
            Kini Mira telah menikah dan memiliki seorang anak. Ia hidup bahagia walaupun dalam keterbatasan. Melihat kondisi Mira yang seperti ini membuatku semakin ingin melaksanakan program terbaru secepatnya. Ya, program itu merupakan program beasiswa dan juga bantuan pinjaman modal bagi masyarakat kurang mampu. Dananya diambil dari para donatur/dermawan yang mau menyumbangkan sebagian hartanya demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Satu hal yang pasti pada saat itu adalah, aku ingin Mira menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang nanti akan menjadi sasaran program ini.

            Setelah sekian lama terpisah tanpa kabar yang pasti, akhirnya aku mendapatkan kembali sahabatku yang sempat hilang. Kini aku tahu apa yang hilang dari dalam diriku, apa yang membuatku merasa kurang bahagia dengan apa yang telah kudapatkan, adalah karena sesungguhnya kebahagiaanku adalah ketika aku dapat membahagiakan dan membantu orang lain. (18 September 2012) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi: Arunika

Puisi: Petrikor

Sejarah: Tentang Keluarga dan DI/TII