Cerita Pendek (Cerpen)
Pusara Hati
“Sudah
kau bereskan bukumu, Nak?” tanya Ibu, sontak membuyarkan lamunannya. Segera ia
menghampiri ibunya yang sedari tadi menunggu di teras belakang.
Ibu
tersenyum menatap Niluh kecilnya yang manis dan lucu yang kini telah tumbuh dewasa
menjadi seorang gadis yang cantik dan menawan.
“Bu, apa kau mengenali
foto ini?” tanya Niluh pelan, sesaat setelah menghampiri ibunya.
Keduanya terdiam. Ibu
memperhatikan foto itu dengan saksama. Senyuman getir dan air mata mengalir
membasahi pipinya yang mulai keriput. Niluh masih diam terpaku, baru kali ini
ia menyaksikan ibunya menangis. Segera ia menghapus air mata ibunya, ia merasa
sangat bersalah karena telah membuat ibunya menangis.
“Sudahlah, Nak. Ini
bukan kesalahanmu!” kata Ibu, mencoba menghentikan. Kemudian ia menghapus air
matanya. Digenggamnya tangan Niluh dengan erat, ia menghela nafas panjang.
“Ibu, mengapa kau
menangis?” tanya Niluh, parau.
“Niluh anakku, apa kau
tahu siapa yang ada di foto ini?” tanya Ibu. Niluh menggeleng.
“Ini adalah fotoku dan ayahmu,
Nak!” katanya.
Niluh masih tidak
percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh ibunya. Selama ini, Ibu tak pernah
membahas tentang ayahnya. Pernah sekali Niluh bertanya tentang keberadaan
ayahnya. Namun bukan jawaban yang ia dapat, melainkan sebuah peringatan agar ia
tidak pernah mempertanyakan hal itu lagi kepada ibunya.
“Ayah?” tanya Niluh
terperangah. Ibunya mengangguk pelan, mengiyakan.
“Dialah ayahmu, Nak! Aku
dan ayahmu menjalani kisah cinta yang rumit dengan akhir tak bahagia. Tak
seperti pasangan suami-istri pada umumnya yang membina rumah tangga atas dasar
cinta. Aku menikahi ayahmu karena cintaku pada ayahnya. Sebuah kekhilafan yang
sangat memalukan seumur hidupku, sebuah kesalahan besar yang sangat aku
sesalkan. Jika aku tahu begitu besarnya cinta ayahmu padaku saat itu, jika aku
tak terbuai dengan cinta terlarang yang kujalani dengan ayahnya, jika saja aku
bisa mengulang waktuku kembali, maka sungguh takkan pernah kulakukan kesalahan
itu. Takkan pernah aku menyakiti hatinya, ayahmu yang cintanya begitu besar
untukku.”
“Nak, dahulu aku hanya
seorang pembantu di rumah ini. Dahulu aku hanya seorang gadis muda yang bodoh,
yang terlena oleh kisah cinta terlarang antara aku dan majikanku. Aku hanya
seorang pembantu yang dikasihani, disayangi, namun tidak tahu diri. Kau tahu,
Nak? Dahulu, aku menikahi ayahmu agar hubungan terlarangku dengan ayahnya,
kakekmu itu, tidak tercium orang lain. Kau tahu, kami merencanakan penipuan itu
dengan sangat matang agar hubungan terlarang kami tidak diketahui siapapun.
Kami rela menipu nenekmu dan ayahmu itu demi kebusukan dan nafsu terlarang
kami.”
“Nak, aku mengkhianati
cinta tulus ayahmu yang seharusnya tidak aku lakukan. Ayahmu terlalu baik dan
tidak pantas aku perlakukan seperti itu. Ayahmu begitu baik, hingga cintanya
mampu memaafkan semua kesalahanku. Ayahmu sangatlah baik, sampai ia merelakan
hatinya terluka hanya demi aku, seorang pembantu dan istri yang tidak tahu
malu. Ayahmu adalah orang terbaik yang tak pernah sekalipun membenciku dengan
kejahatan yang telah kulakukan padanya. Tahukah kau, Nak? Ayahmu menikahiku,
mengangkat derajatku, begitu tulus karena cintanya padaku. Sungguh besar
kesalahanku padanya.”
“Nak, kejadian puluhan
tahun silam sangatlah menyakitkan. Demi menjaga kehormatan dan menyangkal
hubungan terlarangnya denganku, kakekmu hendak membunuhku yang saat itu sedang
mengandungmu. Kakekmu yang tak ingin kebusukannya diketahui oleh orang lain,
tega memutarbalikkan fakta dengan menyalahkan dan menjatuhkanku, menghinaku,
seolah aku tak pernah berharga di matanya. Ayahmulah yang membelaku saat itu,
Nak. Di saat posisiku yang sangat menyudutkanku, ayahmulah yang menguatkanku,
Nak. Ayahmulah yang tetap membelaku, di
atas demua keboohonganku padanya.”
“Saat itu, kondisi
rumah sangat kacau. Nenek yang akhirnya mengetahui hubungan terlarangku dengan
kakekmu, merasa telah dikhianati. Ia melampiaskan kekecewaannya itu dengan
mencaci maki kakekmu. Ia yang selama ini telah terkhianati, merasa tak sanggup
lagi untuk hidup dan menghadapi semua kenyataan ini. Saat keributan itulah,
kakekmu yang sudah tak terkendali, hendak membunuhku dengan cara menembakku.
Kau tahu, Nak? Ayahmulah yang melindungiku saat peluru itu tepat mengenai
hatinya. Merasa tak puas, kakekmu kembali mencoba menembakku. Akan tetapi,
ayahmu masih bisa melindungiku. Nenekmu yang sangat mencintai putra semata
wayangnya itu pun tak tinggal diam. Ia berusaha melindungi putranya, hingga
akhirnya ia yang harus merelakan nyawanya untukku dan ayahmu. Peluru itu bersarang
di jantungnya, menyebabkannya tewas seketika.”
“Lalu, apa yang terjadi
selanjutnya?” tanya Niluh. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah
didengarnya.
“Kakekmu, yang secara
tak sengaja telah menembak ayahmu dan nenekmu semakin tak terkendali. Ia
terkejut, takut, kalut, hingga ia menembakkan peluru terakhir di kepalanya
sendiri.”
“Kejadian naas itu
telah merenggut nyawa nenek dan kakekmu. Sedangkan ayahmu, ia masih sempat
dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.”
Niluh masih terperangah
tak percaya. Tangisnya pun pecah.
“Anakku, betapa hina
ibumu ini, Nak!” kata Ibu sambil menangis.
“Bahkan dalam keadaan
kritis seperti itu, ayahmu masih mengkhawatirkan keadaan Ibu yang sedang hamil
muda.”
“Waktu terus berlalu sampai
ayahmu kembali pulih. Bekas peluru itu menyisakan bekas jahitan di hatinya.
Bukan saja luka fisik, melainkan luka batin yang jauh lebih dalam.”
“Sejak kejadian pahit
itu, kami memulai tatanan hidup yang baru. Akan tetapi, kebahagiaan itu tak
berlangsung lama, karena tepat saat usia kandunganmu menginjak 4 bulan, ayahmu
pergi meninggalkan ibu untuk selamanya.”
“Dan inilah kata-kata
terakhirnya untukku: Bagaimanapun kamu,
aku telah memilihmu dan mencintaimu sepenuh hatiku. Karena separuh hatiku,
telah kuberikan untukmu. Kaulah pusara hatiku, yang menjadi awal dan akhir
cintaku.”
Kemudian ia bangkit,
dan memeluk Niluh erat. Maafkan aku, bisiknya. (29 Mei 2014)
GRRM would be proud reading this :)
BalasHapus